TAK JADI ARGOPURO, ARGAPURA PUN JADI


Entah sudah kesekian kali berapa saya diajak naik ke gunung Argopuro, namun untuk kesekian kali pun selalu batal. Yang terakhir kali malah terpaksa saya batalin kurang dari 24 jam dari jam keberangkatan kereta karena tugas mendadak di luar kota. Huft! *derita jurnalis yang sering tugas dadakan luar kota*

Hingga suatu saat saya diajak teman untuk ikutan survey ke kebun bawang di Argapura, saya langsung mengernyitkan dahi. Emang di gunung Argopuro ada kebun bawang ya? *Tanya siapa* Ternyata yang dia maksud adalah kecamatan Argapura di kota Majalengka, Jawa Barat, bukan gunung Argopuro di Jawa Timur. Oalah! Beda kota beda provinsi toh.


Browsing-browsing sekilas, ternyata Argapura ini letaknya di kaki gunung Ciremai, bahkan salah satu jalur pendakian gunung Ciremai ini memang berada di Argapura yaitu jalur Apuy. Yahh.. tidak jadi Argopuro, Argapura pun boleh deh. Sama-sama ada hutannya ini kok. Hehehehe. Tepat di tahun baru 1 Januari 2016, saya dan 8 orang teman pun meluncur ke kota Majalengka.

Ternyata di Argapura, Majalengka ada kebun bawang yang ijo royo-royonya itu keren pake kebangetan. Kebun bawang yang dibikin dengan cara terasering ala sawah ini tercatat membentang seluas 439 hektar dengan hasil panen yang mencapai 2300 ton pada bulan Februari 2016 (Sumber : Tabloid Sinar Tani). Ini cuma di kecamatan Argapura saja lho. Di Majalengka sendiri tercatat ada sekitar 10 kecamatan yang menjadi sentra pengembangan tanaman bawang. *Terpujilah kalian wahai petani, semoga sejahtera selalu*

Lihat Juga : (Foto) Ijo Royo-Royo di Argapura, Majalengka
Selain terasering, di sini ada pula beberapa air terjun dan goa yang bisa dikunjungi. Yahh namanya juga desa di kaki gunung ya, goa, sungai dan air terjun sudah pasti  hal yang awam lah ya. Salah satu air terjun yang kami kunjungi adalah curug Muara Jaya atau yang juga dikenal sebagai curug Apuy. Air terjun ini memiliki beberapa undakan dengan total ketinggian mencapai 73 meter. Curug utamanya sendiri setinggi 60 meter dan curug yang memiliki beberapa undakan memiliki ketinggian total 13 meter.

Berada di air terjun rasanya kurang afdol kalo tidak sekedar berendam sejenak merasakan dingin dan segarnya aliran sungai Muara Jaya di lereng gunung Ciremai ini. Jadilah saya dan beberapa orang teman pun bersenda gurau di bawah aliran utama curug Muara Jaya sambil menahan rasa dingin yang perlahan menggigit kulit. Brrr..!!
Objek berikutnya adalah goa Lalay. Saya kira nama goa Lalay cuma ada di Sawarna, Banten. ternyata ada juga toh goa Lalay di Jawa Barat. Bedanya, goa Lalay ini juga sering disebut Grand Canyon oleh penduduk setempat karena aliran sungai sebelum memasuki goa ini diapit oleh bebatuan yang menjulang setinggi kurang lebih setinggi 20 meter dengan panjang mencapai 1 kilometer.

Goa ini disebut goa Lalay yang artinya kelelawar karena disini memang habitatnya para kelelawar. Sebelum memasuki goa, bau kotoran kelelawar sudah tercium di udara. Buat yang tidak tahan baunya sih mending bawa masker atau buff deh untuk menutup hidung karena kotoran kelelawa ini cukup tajam baunya.
Meski namanya goa, sebenarnya bentuknya hanya cekungan yang menjorok ke dalam dinding batu beberapa meter saja. Namun, saat melihat aliran air sungai sih ada cekungan lain di balik air terjun mini setinggi 2 meter. Mungkin disana lah letak goa Lalay yang lebih dalam. Sayangnya bebatuan disekitarnya sangat licin, terutama karena saat itu hampir seharian gerimis menemani perjalanan kali ini. Lagipula, karena goa ini terletak di lereng gunung, bahaya air bah yang bisa datang tiba-tiba bisa menjadi masalah karena saya tidak bisa melihat aliran air di hulu sungai karena terhalang bebatuan raksasa ini.
Pic. By Noviar Triansyah
Pic by Adhie Firmansyah
Itu sebabnya saya sempat bertanya ke Deni, teman kami yang berasal dari Majalengka apakah aman untuk berada di goa ini saat guyuran gerimis seperti saat ini. Saat ia menganggukan kepala tanda aman, barulah saya berani beranjak masuk ke dalam goa tersebut. Areal bebatuan di dalam goa cukup licin, dan cahaya pun cukup minim untuk memotret. Jadi, mau tak mau, bebatuan sekitar menjadi pengganti tripod untuk memotret dengan low speed.

Buat yang membawa kamera di kala hujan seperti saya, disarankan membawa pula drybag karena saat memasuki goa harus menyeberang sungai setinggi kurang lebih 50 cm yang beraliran cukup deras dan tetesan air dari bebatuan juga terus menerus mengguyur. Saya sih tidak membawa drybag karena tidak tahu soal menyeberang sungai ini, namun saya membawa payung untuk menghindari tetesan hujan dari atas. Alhamdulillah sampai kembali ke rumah penduduk karena hujan deras, kamera saya aman. Hehehehe. (EKW)


Comments

Post a Comment