Wednesday, July 15, 2015

BERBURU CURUG DI PETUNGKRIYONO


Ajakan jalan ke Pekalongan sebenarnya sudah cukup lama terdengar. Namun rencana demi rencana hanya selalu jadi wacana yang teronggok di pembicaraan grup whatsapp. Seperti biasa, sesuatu yang direncanakan jauh-jauh hari belum tentu terlaksana namun rencana dadakan di menit terakhir justru tercapai dengan sukses. Dan seperti itulah yang terjadi dengan perjalanan saya ke Pekalongan. Diberi tawaran berangkat pada tanggal 16 juli siang, dan 17 juli hampir tengah malam saya sudah duduk manis dalam kereta menuju ke Pekalongan bersama seorang teman, Adhie Firmansyah.

Sekilas tentang Pekalongan adalah salah satu wilayah di Jawa Tengah, yang berada di jalur Pantura (Pantai Utara Jawa). Selain terkenal sebagai kota pesisir (pantai), Pekalongan juga terkenal sebagai kota Batik dimana motif-motif batik sangat khas dan variatif. Kota Pekalongan juga telah masuk dalam jaringan kota kreatif UNESCO dalam kategori crafts and folk arts (Kerajinan tangan dan kesenian rakyat). Keren kan. Namun, kali ini saya berada di Pekalongan bukan untuk wisata budaya dan seninya, namun untuk berburu curug atau air terjun. Ya, meski terkenal sebagai kota pesisir dan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di pulau Jawa, Pekalongan juga memiliki wilayah dataran tinggi dan perbukitan. Wilayah wisata di dataran tinggi yang terkenal adalah wilayah Petungkriyono.

Secara administratif kecamatan Petungkriyono sebenarnya masuk dalam wilayah kabupaten Pekalongan, bukan kota. jaraknya dari kota Pekalongan sekitar 30 kilometer. Saya dan teman berkendara menggunakan motor menuju ke Petungkriyono selama hampir 2 jam lebih. 30 km dalam waktu 2 jam?! Kok bisa?! Karena pemandangan menuju ke Petungkriyono sangat indah dan memanjakan mata yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Sesekali kami berhenti untuk mengambil gambar dan menikmati alam desa mulai dari sawah, kebun hingga perbukitan dan gunung. Sayang rasanya kalau tidak berhenti sejenak untuk mengaguminya. Hehehehe..
Jalanan menuju ke Petungkriyono merupakan jalanan aspal yang cukup mulus. Hanya ada beberapa kerusakan kecil di beberapa sudut jalan. Bentuk geologi Petungkriyono yang berbukit-bukit membuat jalan pun berkelok-kelok dan memiliki banyak tikungan tajam. Sangat tidak disarankan berkendara dengan kecepatan tinggi terutama yang baru pertama kali mengunjungi daerah ini.

Usai menempuh jalanan berkelok-kelok di bagian pedesaan, kita pun memasuki wilayah hutan Petungkriyono dengan jalan yang tetap berkelok-kelok dan penuh dengan tikungan tajam. Pokoknya sampai mahir deh di tikung kanan-kiri.. hehehehe. Oh ya, selama perjalanan saya tidak melihat ada kendaraan umum yang melalui daerah ini, jadi kemungkinan besar harus sewa kendaraan menuju kesini.

Tujuan pertama saya adalah adalah curug Bajing. Curug Bajing merupakan salah satu air terjun yang cukup dikenal oleh warga Pekalongan dan sekitarnya karena merupakan curug tertinggi. Tingginya mencapai 75 meter. Akses menuju ke Curug ini cukup mudah, hanya 300 meter dari parkiran kendaraan. Parkir kendaraan dan biaya masuk ke objek wisata ini sudah dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan baik sehingga tidak perlu khawatir tentang calo atau orang yang memungut biaya tambahan. Parkir motor seharga Rp. 2000, Mobil Rp. 5.000, dan tiket masuk per orang Rp. 5.000,- Nama curug ini diambil dari nama gunung tempat mengalirnya air terjun ini yaitu gunung Bajing.

Di sekitar parkiran ada beberapa warung, toilet dan musholla. Namun akan lebih baik jika membawa makanan dan peralatan sholat karena warung hanya menjajakan makanan seperti gorengan, mie instan, dan bakso. Kalaupun ada makanan berat biasanya seperti nasi rames. Sayangnya saya kesana hari kedua usai lebaran sehingga makanan beratnya belum tersedia karena pasar masih tutup.

Di curug Bajing ini saya pun berburu foto dan mengambil foto dari berbagi sudut. Sesekali mencelupkan kaki ke dalam air sungainya yang jernih dan dingin. Banyak wisatawan lokal disana yang datang dan ikut merasakan keindahan dan kesejukan air di curug Barong ini. Saya juga terpanggil ingin mandi di curug ini. Sayangnya, kondisi badan saya sudah tidak fit sehari sebelum keberangkatan karena radang tenggorokan dan pilek sehingga niat itupun urung dilakukan. Yasudlah, mari kita nikmati saja indahnya alam di sekitarnya.
Sekitar 30 menit kemudian, kita beranjak menuju target curug berikutnya yaitu Curug Muncar. Dari curug Bajing menuju Curug Muncar hanya sekitar 5 kilometer. Namun jalanan menuju kesana berbeda jauh dengan jalanan sebelumnya, hancur berantakan. Saya dan teman yang mengendarai motor pun harus ekstra hati-hati saat menapaki turunan atau tanjakan tajam karena batu-batu dan pasir yang bisa membuat motor ban selip atau kepleset.

Setelah berjibaku dengan jalanan rusak, sampailah kita di pinggiran dusun Watugajah, desa Curugmuncar. Pintu masuk menuju kawasan curug Muncar ini berbeda dengan curug Bajing. Meski juga dikelola secara swadaya oleh para pemuda desa, sistemnya masih terlihat ala kadarnya. Biaya masuk Rp. 2.000 per orang dan parkir motor Rp. 2.000. Dari parkiran saya dan teman menyusuri jalan desa menuju ke hutan pinus. Ahhh pinus. salah satu pohon favorit saya sehingga memotret dan berhenti sejenak mengagumi menjadi santapan jiwa yang sangat memuaskan.
Dari kawasan hutan ini di kejauhan tampaklah sekilas sebuah curug. Namun itu bukan curug Muncar, itu adalah curug Telaga Lumbu setinggi 25 meter. Curug Muncar yang asli harus trekking melalui hutan alami sejauh 30 menit. Sayangnya karena waktu yang sudah menunjukkan pukul 4 sore, saya dan teman saya memutuskan untuk menikmati si curug Telaga Lumbu ini saja, tidak menuju ke curug Muncar karena beresiko kemalaman di jalan saat pulang, apalagi ini perjalanan pertama kali kami kesini. Sebenarnya dari parkiran desa bisa terlihat curug Muncar yang jauh di ketinggian gunung Ragajembangan setinggi 2117 mdpl. Informasi mengenai kawasan desa wisata Curugmuncar bisa juga dilihat di http://desacurugmuncar.blogspot.com/. Di blog tersebut terdapat info tentang transportasi, homestay, tempat kemping hingga wisata curug lainnya.
curug Telaga Lumbu
Meski kecil, curug Telaga Lumbu yang juga sering disebut curug Muncar 2 ini cukup menarik untuk dinikmati. Di sekitarnya terdapat aliran sungai yang berasal dari curug Muncar utama dan menghasilkan sebuah curug kecil yang tidak jauh dari curug Telaga Lumbu. Kebetulan saat itu kawasan curug ini sudah sepi dari pengunjung sehingga saya bisa puas menikmati heningnya alam ditengah riak  air terjun dengan santai sambil sesekali melakukan beberapa foto kreatif dengan botol air minum.

Puas menikmati curug Telaga Lumbu, saya dan teman pun segera beranjak dari kawasan ini dan segera menuju jalanan pulang. Namun sebelumnya, saya dan mas Adhie melakukan satu perhentian di sebuah curug yang berada di pinggiran jalan. Sebenarnya saat menuju curug Bajing, curug ini telah kami lewati. Namun dengan berpikir bahwa curug ini akan kami lewati lagi saat pulang nanti, maka kami akan mengunjungi saat perjalanan pulang. Curug ini bernama Curug Cibedug yang terletak di desa Kayupuring. Alirannya sih kecil, namun karena terletak di pinggir jalan, curug ini pun menjadi salah satu wisata yang banyak dikunjungi.

Hmm.. Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Sebenarnya wilayah kecamatan Petungkriyono ini masih memiliki banyak curug yang bisa dijelajahi. Sayangnya waktu seharian ini saya cuma mampu mengunjungi 3 curug dan melewati 3 curug tanpa nama lainnya di jalanan Petungkriyono. Total, 6 curug, meski 3 curug tanpa nama itu saya tidak sempat memotretnya. Sepertinya untuk bisa berburu semua curug di Petungkriyono bisa membutuhkan waktu berhari-hari. Apalagi disana juga ada sumber mata air panas yang belum sempat saya kunjungi juga. Kapan-kapan main ke Pekalongan lagi lahh.. (EKW)

No comments:

Post a Comment

Popular Posts