MARAPU: KEPERCAYAAN LOKAL DI TANAH SUMBA

Kalau bicara soal agama, maka ada 5 agama yang saat ini sudah diakui pemerintah yaitu, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Namun jika berbicara soal kepercayaan, pasti beberapa diantara kita langsung berpikiran pada kepercayaan Animisme dan Dinamisme seperti yang diajarkan di bangku sekolah. Animisme adalah kepercayaan kepada roh nenek moyang sedangkan Dinamisme adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib.
         
Di Indonesia sendiri tercatat ada lebih dari 200-an kepercayaan lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Beberapa diantaranya pasti sering kalian dengar seperti Kejawen di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan Kaharingan di Kalimantan.
Bentuk rumah di kampung adat Waitabar
Saat berkunjung ke pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur bulan Maret lalu, saya berkesempatan untuk sedikit menengok kehidupan sebuah kepercayaan lokal disana yaitu Marapu. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula.

 Aliran ini didasarkan pada kepercayaan kepada arwah atau roh nenek moyang yang menjaga dan menjalankan bumi kita. Pasti kalian berpikir bahwa mereka tidak percaya Tuhan yang Mahaesa?? Ohh tidak begitu, saudara-saudara.. Mereka sangat percaya kepada Tuhan yang Mahaesa. Buat mereka roh nenek moyang yang biasanya berwujud dewa-dewa yang menjaga dunia kita ini adalah perantara antara manusia dengan Tuhan.

Kampung Adat Waitabar,
Bangunan di tengah adalah tempat dimana Rato berdoa 

dan meminta kepada Yang Maha Kuasa
Kepercayaan Marapu ini, dipimpin oleh seorang pendeta tertinggi yang biasa disebut sebagai Rato. Rato inilah yang bertugas “berbicara” dan “menyampaikan” keinginan dari para dewa kepada manusia. Biasanya untuk melakukan suatu upacara atau berdoa, para pemeluk Marapu melakukan persembahan dengan memotong hewan seperti ayam, kambing, babi ataupun kerbau.

Para pemeluk Marapu saat ini masih mendapat diskriminasi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Untuk bersekolah saja, mereka diharuskan memilih salah satu dari 5 agama yang diakui pemerintah. Alasan Pemda setempat “Karena memang seperti itu aturan dari Pusat”.

Salah seorang pemeluk agama Marapu, Yuliana Leda Tera bercerita kepada saya, “Dulu waktu mau masuk sekolah saya ditanya oleh seorang guru. Agama apa? Trus waktu itu kan Marapu belum diakui sebagai aliran kepercayaan jadi saya bilang saya Marapu. Tapi guru-gurunya bilang kalau begitu cari sekolah Marapu. Ya tentu saja tidak ada sekolah Marapu jadi dengan begitu, kami harus pilih salah satu agama yang diakui di Indonesia”.

Suasana di Kampung Adat Prai Kalembu
Lalu apakah bisa mengusahakan sebuah pelajaran tambahan mengenai aliran kepercayaan di sekolah? Laurensius Juang, Pengawas Pendidikan Agama di Sekolah menengah Kanwil Kementrian Agama Sumba Barat memberikan jawabannya. “Dari pemerintahnya belum ada pikirannya ke arah situ. Jadi siswa memang menerima pelajaran agama yang sudah diakui secara sah saja. Apalagi kalau mau dikhususkan untuk pelajaran agama kepercayaan Marapu itu tenaga gurunya juga tidak ada. Agama-agama yang sudah sah saja, yang diakui resmi di republik ini saja belum semua sekolah melayani. Karena kekurangan tenaga guru agama.

Tiba-tiba jadi ingat sewaktu saya SD dulu di kota Sorong, Papua di awal tahun 1990-an. Saat duduk di kelas 3 SD, saya memiliki 3 orang teman beragama Hindu yang setiap pelajaran agama dia hanya bisa duduk di luar kelas karena SD tempat saya belajar hanya punya 2 guru agama, Islam dan Kristen. Padahal SD saya adalah SD negeri. Namun teman saya ini tidak bisa belajar mengenai agamanya sendiri karena tidak ada tenaga guru agama Hindu saat itu.

Para orangtua pemeluk Marapu sendiri ternyata sangat bertoleransi. Mereka mengajarkan anaknya mengenai Marapu dan juga mengizinkan mereka untuk belajar agama lain, jika mereka mau. Setelah dewasa nanti, mereka boleh memilih agama mana yang akan dianut. Menurut Dani Ladu Ringgulangu, Kepala kampung adat Waitabar, Marapu adalah warisan suci dari nenek moyang sehingga tidak perlu setiap anak harus menganutnya. Cukup yang ditunjuk oleh para leluhur yang akan menjadi penerusnya, menjadi seorang Rato. 
Para Pemuda di kampung adat Waitabar
Jadi tidak mengherankan ketika saya berkunjung ke beberapa rumah, ada beberapa anggota keluarga yang berbeda agama. Buat mereka beda agama dalam satu rumah itu tidak masalah. Karena buat mereka, Berbeda itu Indah!

Tulisan ini saya buat terlepas dari kepercayaan saya sebagai seorang Muslimah. Tulisan ini saya buat berdasarkan pekerjaan saya sebagai Jurnalis yang bermaksud menyampaikan berita berdasarkan data dan fakta di lapangan. Tulisan ini hanya untuk menunjukkan bahwa jika para minoritas saja bisa sangat bertoleransi dan tidak bersikap menghakimi, lalu mengapa kita yang termasuk golongan mayoritas tidak bisa melakukan hal yang sama?
Bercengkerama bersama salah satu keluarga 
di kampung adat Waitabar
Bukankah sejak kecil kita telah diajarkan untuk bertoleransi dengan orang-orang yang berbeda disekitar kita? Bahkan dalam Islam sekalipun diajarkan untuk menghormati tetangga terlepas dari apakah tetangga itu islam atau bukan.

Mudah-mudahan tidak ada pihak yang tersinggung dengan adanya tulisan ini. Salam! ;)


Comments

  1. Endah, terima kasih udah partisipasi di turnamen foto perjalanan..
    kisah ini semakin membuka mata akan keluasan tanah air

    ReplyDelete
  2. Inti dari tulisan ini masuk banget, ngena! :)

    Saya belum berkesempatan ke Sumba :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah kalau tulisan ini bisa bermanfaat.
      dulu padahal sempet ragu mau posting ini karena takut sama pro dan kontranya..

      Delete

Post a Comment